OCHA Laporkan 127.000 Warga Gaza Mengungsi ke 360 Lokasi di Gaza Selatan, Kondisi Kemanusiaan Memburuk

Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza kian mencapai titik kritis. Dalam laporan terbarunya, Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat peningkatan besar jumlah pengungsi yang melarikan diri dari wilayah utara menuju selatan Gaza. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa wilayah yang disebut sebagai “zona aman” oleh otoritas Israel justru menjadi tempat penderitaan baru bagi warga sipil. OCHA mendata bahwa antara Sabtu hingga Selasa (30/9), sekitar 127.000 warga tiba di hampir 360 lokasi pengungsian yang dapat dimonitor oleh mitra kemanusiaan di wilayah Deir al Balah dan Khan Younis. Saat ini, lokasi-lokasi tersebut menampung lebih dari setengah juta orang. Dalam periode sepuluh jam pada Rabu (1/10) saja, sebanyak 6.700 warga dilaporkan melarikan diri dari Gaza utara ke selatan. Sejak pertengahan Agustus 2025, jumlah pengungsi yang tercatat telah mencapai lebih dari 417.000 orang. Namun, laporan OCHA juga mengungkap bahwa situasi di wilayah selatan Gaza memburuk dengan cepat. Serangan udara intens dilaporkan menghantam Deir al Balah, termasuk area pengungsian yang seharusnya aman. Beberapa tenda, rumah warga, dan pasar menjadi sasaran, menyebabkan banyak korban jiwa yang diduga berasal dari kalangan sipil. Kantor Hak Asasi Manusia PBB menegaskan bahwa banyak dari korban adalah perempuan dan anak-anak. PBB menggambarkan kondisi pengungsian di Gaza sebagai situasi yang “sangat memprihatinkan.” Para pengungsi kini berdesakan di tempat penampungan yang penuh sesak atau di tenda-tenda darurat di sepanjang pantai. Banyak yang tidur di ruang terbuka di antara reruntuhan bangunan, dengan kondisi sanitasi yang buruk dan tanpa jaminan keamanan. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap pemisahan keluarga serta penyakit menular akibat lingkungan yang tidak higienis. Kepala Bantuan Kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, melalui pernyataan di platform X, menyoroti bahwa akses ke wilayah utara Gaza hampir mustahil dilakukan. “Kita memerlukan akses kemanusiaan tanpa hambatan, namun banyak pekerja kemanusiaan terpaksa menghentikan operasi,” ujarnya. Fletcher menegaskan bahwa perintah pengungsian dari pihak mana pun tidak membebaskan mereka dari tanggung jawab untuk melindungi warga sipil yang masih bertahan di wilayah konflik. Situasi darurat ini terjadi di tengah konflik berkepanjangan sejak Oktober 2023, yang telah menewaskan lebih dari 66.200 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Selain itu, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 40.000 warga mengalami luka permanen yang membutuhkan perawatan dan rehabilitasi jangka panjang. PBB dan lembaga kemanusiaan internasional berulang kali memperingatkan bahwa Gaza berada di ambang kehancuran total. Kelaparan, wabah penyakit, dan kekacauan sosial semakin meluas di tengah terbatasnya akses terhadap bantuan. Laporan OCHA menjadi alarm global bahwa tragedi kemanusiaan di Gaza bukan sekadar bencana lokal, melainkan aks pendudukan yang tidak berprikemanusiaan yang menjadi ujian bagi kemanusiaan dunia. (ain/avi)