Kisah Pilu Anak-Anak Gaza dan Masa Kecil yang Hilang di Tengah Perang
26 Sep 2025
0 Suka

Penjajahan yang berkepanjangan di Jalur Gaza telah merampas hak anak-anak untuk hidup dalam ketenangan. Di tengah reruntuhan dan pengungsian yang tak berujung, kisah-kisah kecil yang memilukan terus bermunculan, menggambarkan bagaimana trauma dan ketakutan kini menjadi bagian dari keseharian mereka.
Maysaa Shaaban (42), seorang ibu yang mengungsi dari Gaza utara ke Deir al-Balah, menjadi saksi langsung bagaimana perang mengubah hidup putrinya, Saja, yang baru berusia 9 tahun.
“Ia sering terbangun di malam hari karena mimpi buruk. Tidak ada rumah, tidak ada rasa aman, tidak ada perawatan… hanya menunggu untuk mati kapan saja,” tutur Maysaa dengan suara bergetar, dikutip dari Palinfo pada Kamis (25/9/2025).
Menurut Maysaa, Saja kini jarang bermain atau berbicara, seakan kehilangan keceriaan masa kanak-kanaknya.
Setiap pagi, anak-anak Gaza tidak lagi terbangun dengan harapan akan kedamaian. Mereka justru menyiapkan tas kecil berisi sisa-sisa kehidupan untuk melanjutkan pengungsian ke tempat yang tak pasti.
Satu keputusan militer cukup untuk menentukan arah hidup mereka, membuat seperempat juta anak-anak kehilangan rumah, keluarga, bahkan masa depan.
Di pintu keluar kota yang hancur, pemandangan memilukan selalu berulang. Keluarga-keluarga berjalan dengan langkah berat, ibu-ibu memeluk erat anak-anak mereka, sementara anak-anak lain berjalan diam menanggung beban yang bukan seharusnya.
Seorang bocah kecil menggenggam boneka robeknya, seolah melepas selamat tinggal pada rumah yang ditinggalkan. Ada pula anak yang menangis karena meninggalkan tas sekolahnya—tas yang baginya menyimpan kenangan bersama teman-teman yang kini entah di mana.
Di jalan pengungsian, anak-anak bukan hanya korban, melainkan juga penopang keluarga. Mereka harus mengangkut air, mengantre bantuan berjam-jam, bahkan mengejar truk makanan di bawah teriknya matahari dan dentuman bom.
Lamia Abu Sharkh (35 tahun), yang kehilangan rumah dan tinggal di tenda bersama tiga anaknya, menceritakan kebingungan putranya, Khaled (11 tahun).
“Kita mau ke mana? Kapan aku bisa kembali sekolah?” tanya anak itu. Sudah tiga tahun Khaled tidak bersekolah. Lamia mengaku putus asa, “Aku merasa gagal sebagai seorang ibu, tapi perang lebih kuat dari kita semua.”
Kisah serupa dialami Fatima al-Far (31 tahun), yang kini tinggal di Mawasi, Khan Yunis, setelah kehilangan suaminya. Putrinya, Layan (5 tahun), terus mencari sosok ayahnya dan diliputi ketakutan setiap kali mendengar ledakan.
“Masa kecilnya telah hilang, dan aku tak berdaya melindunginya,” kata Fatima.
Di kamp penampungan dan sekolah yang bobrok, puluhan ribu anak hidup berdesakan tanpa air bersih, sanitasi, maupun rasa aman. Iman Muqdad (39 tahun), yang kini tinggal di tenda dekat Universitas Al-Azhar, menggambarkan betapa mencekam situasi itu.
“Kami seperti terkepung api dari segala sisi. Anak-anak saya tak pernah bisa tidur; mereka berlari panik setiap kali bom meledak,” ujarnya.
Psikolog Dardah Al-Shaer menegaskan bahwa bahaya terbesar tidak hanya pada bom atau kelaparan, melainkan juga trauma jangka panjang.
“Anak-anak yang tumbuh di tengah perang akan menghadapi kecemasan kronis, depresi, hingga trauma berkepanjangan. Menyelamatkan generasi ini membutuhkan intervensi segera, bukan sekadar retorika,” kata Dardah.
Perang telah merampas bukan hanya mainan, tetapi juga pendidikan, rasa aman, dan masa depan anak-anak Gaza. Mereka tidak menghadapi krisis singkat, melainkan tragedi yang terus ditulis setiap hari dengan air mata, ketakutan, dan keheningan.