Antara Hidup dan Risiko Koma, Pasien Diabetes Gaza Terperangkap dalam Blokade
05 Dec 2025
0 Suka
Di tengah keruntuhan sistem kesehatan Gaza akibat serangan bertubi-tubi dan blokade yang semakin ketat, krisis obat-obatan menjadi ancaman yang menimpa ribuan pasien diabetes. Situasi darurat ini terlihat dari kesaksian para tenaga medis yang menyebut kelangkaan insulin sebagai titik paling kritis dalam rantai layanan kesehatan yang runtuh.
Dalam konteks inilah Dr. Ahmed Abu Taha, Kepala Departemen Endokrinologi Rumah Sakit Eropa Gaza, memberikan penjelasan yang menggambarkan kegentingan yang berlangsung sejak hari pertama agresi. Menurutnya, insulin—terutama untuk diabetes tipe 1—hampir tidak pernah tersedia.
Bahkan, terangnya, pasien yang sempat memperoleh sedikit stok pun tak mampu menjaganya karena pemadaman listrik berkepanjangan yang membuat penyimpanan menjadi mustahil.
“Setiap gangguan dosis dapat menyebabkan komplikasi serius hanya dalam hitungan hari,” ujarnya, menegaskan bahwa krisis ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan ancaman langsung terhadap keselamatan ribuan orang.
Dalam kondisi seperti itu, keluarga pasien diabetes menghadapi pergulatan harian yang menempatkan mereka pada garis antara hidup dan risiko fatal. Um Mu’adh Shahwan, ibu dari Riyad, remaja 15 tahun dengan diabetes tipe 1, menggambarkan bagaimana matinya suplai insulin telah membuat penyakit anaknya memburuk.
Ia kehilangan akses pengobatan sekaligus fasilitas pemeriksaan rutin, sementara kadar gula darah Riyad terus berfluktuasi secara ekstrem. Upaya berpindah dari satu pusat kesehatan ke pusat lain jarang membuahkan hasil, dan ia semakin cemas ketika penglihatan sang anak mulai melemah.
Kesulitan serupa dialami Um Muhammad Zahd, yang mengaku telah berkeliling rumah sakit dan apotek selama sepekan tanpa menemukan satu dosis insulin pun. Ia menggambarkan setiap dosis terlewat sebagai ancaman koma atau kematian, sementara dirinya hanya mampu menyaksikan kondisi anaknya terus menurun tanpa pertolongan medis yang memadai.
Dampak kelangkaan obat juga terlihat dari kasus-kasus komplikasi akut. Muhammad Miqdad, 66 tahun, mengalami amputasi setelah luka kecil berkembang menjadi infeksi berat karena ia tidak dapat menemukan perawatan dasar ataupun obat pengontrol gula darah.
Ketika ia akhirnya tiba di Rumah Sakit Baptis, kondisinya sudah terlalu parah. Baginya, kehilangan anggota tubuh menjadi bukti bagaimana runtuhnya layanan kesehatan dapat mengubah nasib seseorang secara permanen.
Nadera Al-Yahya, yang lima tahun hidup dengan diabetes, menjelaskan bahwa sebelum perang sekalipun akses obat sudah terbatas. Setelah perbatasan ditutup dan pengiriman obat terhenti total, ia terpaksa mengurangi dosis untuk menghemat persediaan, yang berujung pada pusing dan kelelahan terus-menerus.
Sementara itu, Mohammed Salameh, penderita diabetes tipe 2, menyebut bahwa kini hal yang dianggap normal adalah pulang dari tiga apotek tanpa membawa obat apa pun. Ia menggambarkan kondisi fisiknya sebagai medan perang tak kasatmata yang berlangsung di tengah pengeboman dan ketidakpastian.
Para dokter Gaza sepakat bahwa krisis ini berpotensi menimbulkan lonjakan komplikasi seperti gagal ginjal, penyakit jantung, retinopati, infeksi berat hingga amputasi—situasi yang oleh Dr. Ismail Abdel Moneim disebut sebagai “bencana kesehatan nyata”. Krisis listrik dan hilangnya alat pemeriksaan membuat pemantauan pasien hampir tidak mungkin dilakukan.
Meskipun ada kecaman internasional terhadap pembatasan masuknya bantuan medis, kondisi di lapangan tak menunjukkan perubahan signifikan. Ribuan penderita diabetes kini menjalani hidup dalam ketidakpastian ekstrem, menunggu akses terhadap insulin yang bagi banyak orang mungkin tak pernah kembali. (nun/avi)