Palestina dan Perjuangan Panjang Menuju Keanggotaan Penuh PBB
23 Sep 2025
0 Suka

Pada Mei 2024, Majelis Umum PBB meningkatkan hak-hak Palestina dalam organisasi tersebut dan mendesak agar diterima sebagai anggota, setelah perdebatan sengit. Resolusi tersebut memperbolehkan Palestina untuk mengambil bagian penuh dalam perdebatan, mengusulkan agenda penting, serta memilih perwakilannya dalam komite, namun tidak memberikan hak suara. Langkah ini menegaskan simbolisme dukungan internasional, meski status keanggotaan penuh masih tertahan akibat veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan.
Palestina kerap disebut sebagai negara yang "ada dan tidak ada". Meski diakui oleh mayoritas negara anggota PBB, memiliki misi diplomatik, dan berpartisipasi dalam ajang internasional, status kenegaraan Palestina tidak sepenuhnya terwujud. Perselisihan panjang dengan Israel membuat Palestina tidak memiliki batas wilayah resmi, ibu kota yang diakui, maupun tentara.
Otoritas Palestina, yang lahir dari perjanjian damai 1990-an, tetap kehilangan kendali penuh akibat pendudukan Israel di Tepi Barat. Sementara itu, Gaza terus dilanda konflik dan kehancuran akibat operasi militer. Kondisi ini membuat pengakuan internasional terhadap Palestina kerap dipandang sebatas simbolis.
Simbolisme itu tetap bermakna. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, dalam pidatonya di PBB Juli lalu, menegaskan tanggung jawab negaranya untuk mendukung solusi dua negara. Ia mengingatkan kembali keterlibatan Inggris sejak Deklarasi Balfour 1917 hingga mandat Liga Bangsa-Bangsa pada 1922–1948, yang memicu kerumitan politik dan konflik berkepanjangan antara komunitas Yahudi dan Arab.
Sejarawan menilai kebijakan Inggris pada masa itu menjadi fondasi konflik modern Israel-Palestina. Setelah Israel berdiri pada 1948, perang dan pengungsian besar-besaran warga Palestina pun terjadi. Upaya internasional mendorong solusi dua negara sejak dekade 1990-an, namun terhambat kolonisasi Israel di Tepi Barat dan lemahnya proses perdamaian.
Hingga kini, Palestina diakui sekitar 75 persen anggota PBB. Inggris, Prancis, Kanada, Australia, Belgia, dan Malta telah menyatakan dukungan pengakuan, bergabung dengan China dan Rusia yang sejak lama mengakuinya. Hal ini menempatkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan besar yang konsisten menentang keanggotaan penuh Palestina.
AS berpendapat pengakuan negara Palestina harus melalui negosiasi langsung dengan Israel, sehingga memberi hak veto de facto kepada Israel atas aspirasi Palestina. Pemerintahan Donald Trump bahkan memperkeras penolakan terhadap konsep kemerdekaan Palestina. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyebut dorongan internasional hanya akan “mendorong Hamas lebih berani” dan berpotensi memicu Israel mencaplok wilayah Tepi Barat.
Polemik juga mencuat terkait syarat pengakuan. Kanada mengaitkannya dengan reformasi internal Otoritas Palestina dan pemilu 2026. Inggris menegaskan pengakuan hanya akan diberikan bila Israel mengambil langkah gencatan senjata di Gaza dan menahan diri dari pencaplokan wilayah. Kritikus menilai pengakuan bersyarat semacam ini justru melemahkan makna dukungan.
Palestina pernah mengajukan keanggotaan penuh pada 2011, namun gagal karena veto Dewan Keamanan. Pada 2012, statusnya meningkat menjadi negara pengamat non-anggota, yang membuka jalan untuk bergabung dengan organisasi internasional, termasuk Mahkamah Kriminal Internasional.
Meski resolusi terbaru PBB memberi Palestina ruang lebih besar, pakar menilai pencapaian itu masih simbolis. “Menjadi anggota penuh PBB memang memberi pengaruh diplomatik lebih besar, namun tidak otomatis menghasilkan solusi dua negara tanpa mengakhiri pendudukan Israel,” ujar Khaled Elgindy dari Middle East Institute. Sementara Profesor Gilbert Achcar menekankan bahwa capaian ini hanyalah “pengakuan simbolis atas negara fiktif” yang realitasnya tetap bergantung pada Israel.