Operasi Israel di Tepi Barat dan Proyek Agenda Politik yang Diperluas
02 Dec 2025
0 Suka
Gelombang operasi militer Israel di Tepi Barat memunculkan pembacaan baru di kalangan akademisi dan pengamat konflik. Di balik intensitas pengepungan dan serbuan bersenjata yang terus berulang, para analis melihat adanya tujuan politik yang lebih luas daripada sekadar operasi keamanan.
Akademisi konflik internasional di Institut Doha, Ibrahim Fraihat, menegaskan bahwa rangkaian tindakan Israel di Tepi Barat saat ini tidak terlepas dari upaya untuk menyempurnakan proyeknya atas wilayah tersebut dan menyingkirkan setiap embrio pendirian negara Palestina. Pernyataan tersebut menjadi titik penting dalam melihat kembali arah kebijakan Israel terhadap kawasan yang selama ini menjadi inti perdebatan geopolitik.
Fraihat memandang bahwa operasi-operasi militer terbaru merupakan kelanjutan dari pola yang sudah berlangsung sebelum 7 Oktober 2023. Ia menyebut bahwa fokus serangan yang diarahkan ke kamp-kamp pengungsi memiliki implikasi besar karena berkaitan langsung dengan upaya mengikis gagasan hak kembali.
Menurutnya, aksi para pemukim yang berjalan beriringan dengan operasi militer memperkuat tujuan untuk memperdalam kontrol atas wilayah dan menutup kemungkinan berkembangnya proyek politik Palestina yang independen.
Dalam pandangan Fraihat, tindakan Israel yang memasuki area “A”—wilayah yang menurut Perjanjian Oslo berada sepenuhnya di bawah kendali Otoritas Palestina—menjadi sinyal bahwa kesepakatan Oslo di lapangan telah kehilangan makna.
Pada perkembangan terbaru, pasukan Israel kembali memasuki Kabupaten Tubas di bagian utara Tepi Barat kurang dari sehari setelah mereka menarik diri dari wilayah itu.
Operasi tersebut dilakukan melalui penerjunan pasukan dari udara, diikuti pengepungan dan pemberlakuan jam malam. Langkah-langkah ini dipandang sejumlah pengamat sebagai indikasi bahwa Israel tengah menggeser pola operasi yang selama ini digunakan di Jalur Gaza menuju Tepi Barat.
Dalam program Ma Wara’ al-Khabar, pengamat urusan Israel, Mohannad Mustafa, menggambarkan pendekatan penerjunan tersebut sebagai tindakan yang tidak logis jika dilihat dari sudut pandang keamanan semata. Ia menilai bahwa operasi penerjunan itu merupakan bagian dari pesan politik yang ingin ditegaskan Israel.
Mustafa menyebut bahwa sejak 7 Oktober 2023, penindasan Israel tidak lagi terbatas pada kelompok-kelompok perlawanan. Ia melihat bahwa sasaran penindasan telah meluas menyentuh infrastruktur sosial, sipil, hingga ekonomi, dalam kerangka yang bertujuan melemahkan sendi-sendi masyarakat Palestina. Pembunuhan sejumlah tokoh dan anggota kelompok perlawanan, menurut Mustafa, memperlihatkan bahwa target Israel tidak hanya kemampuan militer, namun juga masyarakat sipil secara keseluruhan.
Sejalan dengan itu, Kepala Staf Militer Israel, Herzi Halevi, menyatakan bahwa pasukan Israel tidak akan membiarkan apa yang mereka sebut sebagai teror tumbuh, dan akan menggagalkannya melalui operasi ofensif sejak dini. Pernyataan tersebut menjadi representasi sikap resmi Israel yang meletakkan operasi militer sebagai bentuk pencegahan.
Fraihat juga menyoroti bahwa berlanjutnya pembatasan pergerakan, penghancuran kamp-kamp, serta pengendalian yang semakin ketat di Tepi Barat menunjukkan pemanfaatan perpecahan internal Palestina. Ia menyebut bahwa masyarakat Palestina membutuhkan kepemimpinan terpercaya untuk menghadapi dinamika tersebut. Dalam kondisi ketimpangan kekuatan saat ini, ia menilai bahwa ketahanan internal dan persatuan nasional merupakan hal penting untuk mempertahankan posisi mereka.
Dalam analisisnya, Mustafa turut mencatat keselarasan yang terjadi antara militer Israel dan pemerintahan sayap kanan. Menurutnya, harmoni tersebut memberikan ruang lebih besar bagi milisi pemukim untuk memperluas aksi dan melakukan penindasan tanpa hambatan berarti.
Ia juga menyampaikan bahwa reaksi komunitas internasional, termasuk negara-negara Eropa, tidak menjadi pertimbangan signifikan bagi Israel dalam menentukan langkah-langkahnya. Mustafa menilai bahwa Israel kini bergerak dengan tingkat kebebasan lebih besar, sementara Amerika Serikat memainkan peran terbatas yang hanya diarahkan untuk mengendalikan eskalasi.
Dengan demikian, gambaran mengenai operasi Israel di Tepi Barat semakin mengarah pada konteks yang lebih luas. Serangkaian tindakan militer dan kebijakan yang berjalan bersamaan memperlihatkan dinamika yang memengaruhi struktur sosial Palestina, sekaligus mempertegas tujuan jangka panjang Israel sebagaimana diuraikan para analis. (nun/avi)