Suara Pengungsi Gaza: "Anak-Anak Sekarat di Tenda, Dunia Harus Bertindak"
26 Sep 2025
0 Suka

Gelombang pengakuan sejumlah negara Eropa terhadap keberadaan Negara Palestina belum juga menghentikan agresi Israel di Jalur Gaza. Sementara diplomasi berjalan di panggung global, di lapangan, masyarakat sipil Palestina terus mengalami penderitaan mendalam.
Munawwar Al-Ra'i, seorang pengungsi dari Jalur Gaza utara, menegaskan bahwa situasi yang mereka hadapi bukan sekadar konflik, melainkan perang pemusnahan.
“Banyak orang terbunuh dan anak-anak sekarat di tenda mereka. Selain itu, mereka hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sulit. Kami berharap keputusan ini akan menjadi awal dari akhir perang ini,” ungkap Al-Ra'i seperti dilaporkan Muhammad Rabah dari Gaza untuk Republika.
Ia menambahkan, pengakuan internasional hanya akan berarti jika benar-benar mampu menghentikan pembantaian massal dan memberi jaminan keselamatan bagi generasi mendatang.
Serangan Israel yang terus berlangsung telah menelan lebih dari seratus korban jiwa sejak Rabu. Di antara tragedi itu, setidaknya 12 warga Palestina, termasuk tujuh perempuan dan dua anak-anak, terbunuh dalam serangan udara di stadion al-Ahli, Nuseirat, yang sebelumnya dijadikan tempat perlindungan keluarga pengungsi.
Najwa, seorang pengungsi perempuan dari Kota Gaza, menuturkan kepada Aljazirah: “Saya hanya punya apa yang ada di tangan saya. Saya tidak punya apa-apa. Kami ketakutan. Transportasi mahal. Kami tidak mampu membayar untuk membawa barang-barang kami.”
Laporan lain menyebutkan sedikitnya 85 warga Palestina syahid pada hari yang sama, dua kali lipat dari jumlah korban sehari sebelumnya. PBB memperingatkan militer Israel telah “menimbulkan teror terhadap penduduk Palestina di Kota Gaza dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi.”
Namun, klaim Israel bahwa evakuasi ke selatan demi keselamatan warga ditolak penyelidik PBB, yang menyimpulkan bahwa tindakan Israel bertujuan membangun kendali permanen atas Gaza dan memperkuat mayoritas Yahudi di wilayah pendudukan.
Serangan berikutnya menimpa Al-Zawaida pada Kamis dini hari, menewaskan 15 warga sipil dari keluarga Abu Dahrouj. Gambar dari lokasi memperlihatkan jenazah korban diangkut dengan ambulans sementara warga mencari di antara puing bangunan yang hancur.
Di Gaza tengah, rumah-rumah di kamp Nuseirat dan Al-Bureij turut menjadi sasaran, sementara di Khan Younis, serangan udara merenggut nyawa empat orang lainnya.
Pasukan Israel juga melancarkan operasi darat ke berbagai titik di Kota Gaza dalam bingkai Operasi Kereta Gideon 2. Serangan ini telah memaksa hampir setengah juta warga mengungsi ke selatan, meskipun sekitar 900 ribu orang masih bertahan di Gaza utara dan Kota Gaza.
Di tengah situasi ini, pengakuan dunia internasional tampak belum mampu menjawab kebutuhan paling mendesak bagi warga: penghentian perang. Issam al-Khatib, pengungsi dari Kota Gaza, menyatakan, “Mengenai pengakuan negara asing terhadap Negara Palestina, saya tidak melihat adanya perubahan dalam situasi kami di Gaza. Saya dan anak-anak saya masih berada di jalan setelah melarikan diri dari pemboman Israel.” Ia menegaskan, Israel selama ini tidak menghormati resolusi internasional, sehingga dirinya berharap ada tindakan nyata, bukan sekadar pernyataan.
Harapan serupa disampaikan Nour Dardouna dari Gaza utara. Ia menyerukan intervensi segera dari negara-negara Arab dan asing untuk menghentikan perang.
Sementara itu, Ahmed Hassanein menilai pengakuan Eropa sebagai langkah ke arah yang benar, namun menegaskan bahwa penghentian genosida tetap menjadi tuntutan utama.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, hingga kini jumlah korban jiwa akibat agresi Israel sejak 7 Oktober 2023 telah mencapai 65.419 orang syahid, sementara 167.160 lainnya mengalami luka-luka.