Serangan Sistematis Pemukim Ilegal Paksa Warga Palestina Tinggalkan Tanah Leluhur
25 Nov 2025
0 Suka
Gelombang kekerasan yang kembali mencuat di Tepi Barat menunjukkan pola yang semakin terstruktur, dengan berbagai serangan terhadap komunitas Palestina berlangsung dalam konteks perang di Gaza. Para analis menilai situasi ini tidak hanya bersifat sporadis, tetapi mengarah pada aksi-aksi yang menunjukkan pola impunitas mendalam.
Dalam pembukaan analisisnya, Ibrahim Dalalsha, seorang analis politik, menggarisbawahi temuan kelompok hak asasi manusia Yesh Din yang mencatat bahwa 94 persen kasus kekerasan pemukim ilegal zionis ditutup tanpa dakwaan selama 18 tahun sebelum perang di Gaza. Ia memandang rasio tersebut sebagai indikator penting untuk memahami bagaimana kekerasan pemukim dapat berkembang luas.
“Pemukim benar-benar merasa diberdayakan, dan serangan ini menyebar, baik di utara, tengah, maupun selatan Tepi Barat. Kali ini mereka benar-benar masuk lebih dalam,” ujarnya.
Serangkaian serangan yang dilaporkan dari berbagai wilayah menunjukkan konsistensi pola tersebut. Abdullah Awad, seorang warga Palestina dari dekat Turmus Ayya, menggambarkan bagaimana sekitar 15 pemukim bersenjata dan mengenakan masker menyerbu lahan keluarganya.
Mereka menghancurkan rumah serta peralatan pertanian, membuat anak-anak berteriak ketakutan. Awad mengatakan para pemukim membawa tongkat menyerupai kapak dengan paku tertanam, menandakan niat untuk melukai secara serius. Ia menyebut kekerasan telah meningkat sejak perang di Gaza dimulai, menilai situasinya berubah dengan serangan yang semakin kejam.
Kesaksian selaras muncul dari berbagai desa dan kota di Tepi Barat. Serangan terhadap petani, pembakaran rumah dan kendaraan, serta penyerbuan desa terjadi dari kawasan perbukitan utara hingga dataran selatan.
Rekaman video yang beredar memperlihatkan pemukim memukuli warga Palestina, termasuk insiden ketika seorang perempuan dipukul hingga pingsan. Laporan-laporan ini memperlihatkan meluasnya rasa bebas dari konsekuensi hukum di lapangan.
Musim panen zaitun, yang menjadi penopang ekonomi ribuan keluarga Palestina, kembali menjadi sasaran utama. Insiden pembakaran masjid di Deir Istiya, pembakaran rumah dan mobil di dekat Beit Lahm, hingga serangan di kawasan industri Beit Lid menjadi rangkaian peristiwa dalam satu musim.
Data UN OCHA mencatat lebih dari 260 serangan yang berakibat cedera atau perusakan properti sepanjang Oktober, menjadikannya bulan dengan catatan tertinggi sejak pemantauan dimulai hampir dua dekade lalu.
Sementara sejumlah pejabat Israel mengeluarkan pernyataan mengutuk tindakan tersebut, warga Palestina mengatakan bahwa situasinya tidak berubah. Hanya satu pos ilegal yang dibongkar oleh tentara Israel, sebuah pengecualian yang menonjol di tengah banyaknya pembiaran terhadap serangan pemukim. Pembakaran masjid di Deir Istiya juga meninggalkan grafiti bertuliskan “Kami tidak takut pada Avi Bluth,” sebagai pesan terbuka yang menantang otoritas militer Israel.
Sejumlah kesaksian menunjukkan hubungan antara perluasan pemukiman dan pola kekerasan yang meningkat. Menurut laporan kelompok-kelompok hak Palestina, sejak perang Gaza 2023, sebanyak 44 komunitas Palestina terpaksa meninggalkan tanah mereka.
Yair Dvir dari B'Tselem mengatakan bahwa serangan-serangan ini tampak terkoordinasi dan tidak hanya dilakukan oleh individu, melainkan didukung sistem yang memungkinkan pemukiman semakin meluas.
Di Sinjil, Wali Kota Moataz Tawafsha mencatat adanya serangan setiap hari. Di dekat Turmus Ayya, pemukim mendirikan kabin dan tenda di atas bangunan Palestina yang belum selesai, memasang bendera Israel sebagai penegasan klaim teritorial. Wali Kota Lafi Adeeb Shalabi menegaskan bahwa upaya perampasan tanah ini turut merusak sejarah keluarga-keluarga Palestina.
Kesaksian dari berbagai wilayah Tepi Barat memperlihatkan bahwa pelecehan musiman telah berubah menjadi kampanye pengusiran yang berkelanjutan, ditandai pembatasan gerak, pembakaran rumah dan ladang, serta pengungsian paksa komunitas demi komunitas. (nun/avi)