Gaza Kembali Berduka di Tengah Gencatan Senjata yang Tak Pernah Nyata
24 Nov 2025
0 Suka
Meskipun perjanjian jeda tembak yang ditengahi Amerika Serikat telah diumumkan sejak 10 Oktober, situasi faktual di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari stabil. Laporan langsung dari Wartawan Al Jazeera di Gaza, Tareq Abu Azzoum, menegaskan bahwa kesepakatan tersebut tidak menghadirkan rasa aman yang nyata bagi penduduk sipil.
Sebaliknya, menurutnya, gencatan senjata yang berlaku justru “hanya gencatan senjata dalam nama”, karena serangan pasukan Israel terus terjadi secara sistematis.
“Pada kenyataannya, meskipun ada pengumuman jeda, pasukan Israel melakukan serangkaian serangan udara di Gaza,” ujarnya, menggambarkan situasi yang disebutnya sebagai penarikan taktis, bukan komitmen mengikat.
Data dari Kantor Media Pemerintah Gaza memperkuat gambaran situasi tersebut. Dalam 44 hari sejak gencatan senjata diberlakukan, Israel disebut telah melakukan setidaknya 497 pelanggaran.
Serangkaian serangan itu mengakibatkan 342 warga sipil tewas, mayoritas terdiri dari anak-anak, perempuan, dan lansia. Eskalasi terbaru terjadi pada Sabtu, 22 November 2025, ketika serangan udara Israel menewaskan sedikitnya 24 warga Palestina, termasuk anak-anak.
Lembaga media pemerintah Gaza mengecam keras serangkaian pelanggaran itu, menyebutnya sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum humaniter internasional dan protokol kemanusiaan dalam kesepakatan yang berlaku.
Di pihak lain, Pemerintah Israel memberikan penjelasan mengenai operasi militernya. Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa serangan dibalas setelah seorang pejuang Hamas disebut menyerang tentara Israel di wilayah pendudukan di dalam area yang dikenal sebagai “garis kuning” Gaza.
Menurut pernyataan tersebut, operasi balasan berhasil menewaskan lima anggota senior Hamas. Namun, klaim ini dipertanyakan oleh Hamas. Anggota biro politik Hamas, Izzat al-Risheq, meminta para mediator dan pemerintah Amerika Serikat menekan Israel untuk membuktikan dasar operasinya. Ia menilai Israel “merekayasa dalih untuk menghindari perjanjian dan kembali ke perang pemusnahan”.
Selain serangan udara, tuduhan pelanggaran gencatan senjata juga mencakup pembatasan aliran bantuan kemanusiaan. Gaza melaporkan bahwa pasokan makanan, obat-obatan, dan bantuan medis tidak mengalir sebagaimana mestinya, padahal kebutuhan mendesak terus meningkat di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk.
Di sisi geopolitik, pasukan Israel juga disebutkan melakukan reposisi ke area yang berada lebih dalam dari batas yang ditetapkan. Pergerakan ini, yang melewati “garis kuning”, membuat puluhan keluarga Palestina terkepung di Gaza Utara.
Pelanggaran yang dilaporkan tidak hanya terkait serangan dan mobilisasi militer. Situasi semakin mengkhawatirkan setelah Departemen Bukti Forensik Gaza menerima 330 jenazah yang dikembalikan Israel sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.
Dari jumlah tersebut, baru 90 jenazah yang berhasil diidentifikasi. Juru bicara departemen tersebut mengatakan kepada Al Jazeera bahwa banyak dari jenazah menunjukkan tanda-tanda penyiksaan, mutilasi, dan eksekusi. Ia menambahkan bahwa identifikasi menghadapi hambatan besar dan meminta dukungan dari badan internasional untuk menyediakan peralatan forensik yang memadai.
Berdasarkan rangkaian laporan tersebut, implementasi gencatan senjata di Gaza masih sangat jauh dari suasana kondusif yang diharapkan oleh komunitas internasional. Situasi di lapangan menunjukkan adanya pola pelanggaran yang berdampak serius terhadap keselamatan warga sipil dan stabilitas kawasan. (nun/avi)