Rusia Soroti Pengesampingan Palestina dalam Resolusi AS di PBB
19 Nov 2025
0 Suka
Perdebatan seputar resolusi terbaru yang diajukan Amerika Serikat (AS) mengenai Gaza kembali menyoroti ketegangan antara kepentingan kekuatan global dan aspirasi politik rakyat Palestina.
Dalam forum resmi yang sarat prosedur diplomatik tersebut, perhatian dunia tertuju pada sikap Rusia yang memilih abstain dan pada penjelasan mendetail dari Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia.
Nebenzia menegaskan bahwa abstainnya Rusia didorong oleh keprihatinan serius terhadap substansi resolusi yang dinilainya menyingkirkan peran rakyat Palestina dalam proses politik. Ia memperingatkan bahwa ketidakjelasan dalam mekanisme yang diusulkan Amerika dapat mengancam legitimasi aspirasi masyarakat Palestina.
“Yang terpenting, dokumen ini tidak boleh menjadi dalih bagi eksperimen tak terkendali yang dilakukan AS di Israel, di wilayah Palestina yang diduduki,” tegas Nebenzia dalam sesi Dewan Keamanan.
Ia juga mempersoalkan absennya penjelasan mengenai bagaimana Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) akan bekerja sama dengan Otoritas Palestina. Berdasarkan teks yang diadopsi, ujarnya, pasukan tersebut tampak diberi ruang untuk bertindak secara otonom tanpa mempertimbangkan sikap Ramallah.
Nebenzia memperingatkan bahwa ketidakseimbangan mandat itu berpotensi memperkuat pemisahan politik dan administratif antara Jalur Gaza dan Tepi Barat. Ia bahkan mengaitkan situasi ini dengan praktik kolonial masa lalu, seraya mengingatkan pada masa Mandat Inggris atas Palestina ketika aspirasi rakyat Palestina diabaikan.
Dalam pernyataannya kepada Dewan Keamanan, Nebenzia turut menyoroti kerancuan mengenai mandat ISF dalam rencana Presiden AS Donald Trump. Menurutnya, terdapat pertanyaan mendasar apakah “tugas penegakan perdamaian” yang diberikan kepada ISF berpotensi menjadikannya pihak dalam konflik, suatu wilayah yang berada di luar kerangka tradisional pasukan penjaga perdamaian.
Sementara itu, dari pihak Israel, reaksi yang muncul terhadap resolusi tersebut mencerminkan spektrum politik domestik yang sedang berada pada titik paling konservatif dalam sejarah negara itu.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyambut resolusi tersebut sebagai kemenangan baik bagi Presiden Trump maupun bagi agenda pemerintah Israel yang menekankan demiliterisasi Gaza. Respons perdana menteri yang tangannya berlumur darah anak anak Gaza ini menunjukkan keselarasan strategis antara Tel Aviv dan Washington dalam visi keamanan regional.
Di kubu oposisi, Yair Lapid juga terdengar mendukung arah resolusi tersebut, sebuah posisi yang menunjukkan bagaimana isu keamanan Gaza telah membentuk konsensus baru di antara kelompok politik yang biasanya berseberangan.
Beberapa mantan pejabat AS bahkan menilai bahwa resolusi tersebut sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga tidak akan benar-benar memuaskan pihak manapun, sebuah upaya kompromi yang pada akhirnya menciptakan ketegangan baru.
Penyebutan mengenai kemungkinan negara Palestina dalam teks resolusi memicu perdebatan tajam di Israel. Hal tersebut dipandang kontras dengan keputusan Knesset yang sebelumnya telah mengadopsi resolusi yang menegaskan komitmen Israel untuk memastikan tidak ada negara Palestina yang akan berdiri di masa depan. (nun/avi)