UU Baru Israel Upaya Sistematis Tutup Media dan Sembunyikan Kebenaran dari Dunia
13 Nov 2025
0 Suka
Langkah parlemen Israel (Knesset) yang menyetujui rancangan undang-undang baru memberi kewenangan pemerintah menutup kantor media asing tanpa proses hukum menuai kecaman internasional.
Dalam konteks kebebasan pers global, kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran serius tentang pembatasan arus informasi di wilayah konflik, terutama di Palestina, yang selama ini menjadi pusat perhatian dunia terkait isu kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kepala Kantor Media Hamas, Izzat al-Rishq, menilai langkah Knesset itu sebagai “bukti nyata niat Israel untuk meningkatkan kejahatan dan menyembunyikan kebenaran dari dunia.”
Ia menyerukan kepada pemerintah dunia, lembaga hak asasi manusia, dan organisasi wartawan internasional agar “bertindak membatalkan undang-undang tersebut” yang disebutnya sebagai ancaman langsung terhadap prinsip kebebasan pers dan hak masyarakat global untuk mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi di Palestina.
Menurut al-Rishq, rancangan undang-undang tersebut tidak hanya membungkam suara media asing, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis Israel dalam “menutup-nutupi kejahatan pendudukan dan agresi terhadap rakyat Palestina.”
Ia menegaskan bahwa banyak konten yang selama ini dianggap membahayakan keamanan nasional justru berisi laporan-laporan tentang “tindakan pembunuhan, pengusiran, perluasan permukiman, Yudaisasi, serta penghancuran rumah” yang dilakukan oleh otoritas Israel di wilayah pendudukan.
Langkah parlemen Israel ini menandai fase baru dalam hubungan antara negara itu dan media internasional. Berdasarkan laporan harian Haaretz, rancangan undang-undang tersebut akan mengabadikan ketentuan yang dikenal sebagai “Undang-Undang Al Jazeera,” aturan sementara yang pertama kali disahkan pada April 2024.
Aturan itu semula memberikan izin kepada pemerintah menutup media asing di Israel dengan alasan keamanan nasional, asalkan disertai persetujuan pengadilan. Ketentuan tersebut sebelumnya digunakan untuk menangguhkan operasi jaringan berita asal Qatar, Al Jazeera, yang kerap menayangkan liputan kritis mengenai operasi militer Israel di Gaza.
Namun dalam versi terbaru, rancangan undang-undang itu memperluas wewenang eksekutif dengan menghapus keharusan pengawasan yudisial.
Kini, perdana menteri dan menteri komunikasi dapat menutup kantor media asing secara sepihak tanpa proses hukum, menimbulkan kekhawatiran akan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran terhadap prinsip transparansi publik.
Izzat al-Rishq menegaskan, tindakan tersebut “menguatkan kebijakan membungkam suara yang berbeda pandangan” dan menegaskan pola yang sama dari kebijakan-kebijakan represif Israel terhadap jurnalis dan lembaga media.
Ia menyerukan solidaritas global bagi kebebasan pers, khususnya di wilayah konflik, seraya mengimbau para jurnalis dan lembaga media internasional untuk terus menuntut akses ke wilayah pendudukan Palestina agar dapat melaporkan situasi “secara objektif dan profesional.”
Kecaman Hamas terhadap kebijakan baru Israel ini menggambarkan pertarungan lebih luas antara kontrol negara dan kebebasan informasi di tengah konflik yang berkepanjangan.
Di tengah upaya dunia menjaga nilai-nilai demokrasi dan transparansi, langkah Israel tersebut dipandang sebagai kemunduran serius dalam perlindungan terhadap kebebasan pers internasional dan hak publik global untuk mengetahui kebenaran. (nun/avi)