Ketimpangan Hak di Tepi Barat dan Panggilan Mendesak untuk Menjaga Nilai Kemanusiaan
11 Nov 2025
0 Suka
Pengamat internasional kembali menyoroti eskalasi ketegangan di Tepi Barat yang dinilai semakin mengancam stabilitas kawasan. Situasi terbaru menunjukkan dinamika kekuasaan yang kian timpang, dibayangi peningkatan aksi kekerasan terhadap warga Palestina dan absennya langkah tegas dari sejumlah aktor global.
Dalam konteks itu, pernyataan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, menjadi sorotan serius. Ia secara terbuka menyerukan agar Tepi Barat dianeksasi sekaligus mendorong pengusiran penduduk Palestina, sebuah seruan yang disebut para analis sebagai titik krusial dalam memburuknya kondisi lapangan. Pernyataan ini menjadi latar yang relevan untuk memahami peringatan keras dari Gerard Araud, mantan duta besar Prancis untuk Israel.
Araud menyampaikan evaluasinya melalui sebuah artikel opini di majalah Le Point. Ia menyatakan bahwa Tepi Barat kini berada “di luar kendali”. Dalam pandangannya, Israel telah membentuk suatu “rezim diskriminasi rasial yang terstruktur”, sementara negara-negara Eropa memilih untuk tetap bungkam.
Ia mengingat kembali kunjungan pertamanya ke kawasan itu pada awal 1980-an, ketika ia melihat kondisi yang masih relatif stabil sebelum pecahnya Intifada pertama.
Namun, sejak awal 2000-an, menurut Araud, kondisi lapangan berubah drastis. Pos-pos pemeriksaan militer menjamur, perluasan permukiman Israel berlangsung cepat, dan ruang gerak warga Palestina semakin terperangkap oleh pembatasan yang memengaruhi mobilitas, pekerjaan, serta kehidupan sosial mereka.
Ia menyebut realitas ini sebagai “dualisme demografis yang berbahaya”: dua populasi hidup di tanah yang sama, tetapi hanya satu yang menikmati akses atas kekuasaan, keamanan, dan sumber daya, sementara yang lain kehilangan hak politik dan hukum dasar. “Inilah definisi yang tepat dari apartheid,” tegasnya.
Araud berpendapat bahwa berbagai pemerintahan Israel telah menggunakan strategi permukiman untuk mencegah lahirnya negara Palestina. Ia menilai masyarakat internasional, khususnya negara-negara Eropa, gagal merespons perkembangan tersebut dengan kebijakan yang memadai.
Ia menyerukan agar Uni Eropa mengambil langkah lebih tegas, termasuk menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan dan pemukim yang aktif di wilayah pendudukan serta menghentikan impor produk dari permukiman ilegal.
Dalam artikelnya, Araud juga mengulas dampak serangan 7 Oktober 2023. Ia menilai insiden itu dijadikan alasan bagi kelompok ekstrem kanan Israel untuk meningkatkan kekerasan di Tepi Barat.
Menurutnya, desa-desa Palestina kini menghadapi serangan hampir setiap hari, mulai dari pembakaran rumah dan kendaraan hingga pengusiran paksa, sementara aparat keamanan Israel kerap “diam atau bahkan terlibat secara pasif”.
Araud menegaskan bahwa bukti-bukti pelanggaran yang terekam foto dan video jarang ditindak oleh lembaga peradilan Israel, sedangkan para aktivis damai justru menghadapi intimidasi dan penangkapan.
Ia menggambarkan kondisi warga Palestina dengan analogi yang tajam. “Mereka kini menjadi Indian merah baru di sebuah barat liar tanpa hukum,” ujarnya. Ia menyamakan situasi tersebut dengan bentuk pembersihan etnis bertahap untuk mengubah komposisi demografis kawasan.
Araud menutup tulisannya dengan kritik terhadap negara-negara Arab yang ia nilai terlalu diam. Ia menyerukan negara-negara Eropa untuk bertindak bukan atas dasar kepentingan pragmatis, melainkan untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. “Jika tidak, nilai-nilai itu hanya akan tinggal sebagai slogan kosong di dunia yang dikendalikan oleh kepentingan semata,” tulisnya. (nun/avi)