Mandat UNRWA Diujung Tanduk dan Ancaman Hilangnya Status Kolektif Pengungsi Palestina
11 Nov 2025
0 Suka
Pengujian kembali mandat Badan PBB untuk Bantuan dan Pekerjaan bagi Pengungsi Palestina (UNRWA) berlangsung di tengah dinamika geopolitik yang makin kompleks. Di saat isu pengungsi Palestina kembali menempati ruang krusial dalam perdebatan internasional, sejumlah pakar memperingatkan bahwa arah reformasi yang sedang dikaji dapat mengubah status dan identitas hukum jutaan pengungsi.
Guru besar hukum internasional di Universitas Arab Amerika, Dr. Raed Abu Badawieh, menyatakan bahwa wacana penggantian UNRWA dengan sistem perlindungan berdasarkan Konvensi 1951 bertujuan “menghapus status kolektif pengungsi Palestina dan mengubahnya menjadi status pengungsi individual yang bersifat teknis dan kemanusiaan”.
Ia menegaskan bahwa UNRWA sejak 1949 telah menjadi wadah internasional yang menjaga identitas kolektif pengungsi Palestina serta menegaskan pengakuan dunia atas hak historis mereka untuk kembali, sebagaimana diatur dalam Resolusi PBB Nomor 194.
Konteks ancaman terhadap keberlanjutan UNRWA terlihat dari laporan internal PBB yang bocor, yang mengemukakan beberapa skenario, mulai dari reformasi administratif terbatas hingga pembubaran bertahap dan pengalihan mandat kepada negara tuan rumah atau lembaga internasional lain.
Ancaman ini menyentuh inti mandat lembaga yang menaungi lebih dari lima juta pengungsi Palestina sejak didirikan melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 302 pada Desember 1949. UNRWA selama lebih dari tujuh dekade menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan bantuan sosial di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Menurut Direktur Pusat Studi Palestina Badil, Nidal al-Azza, skenario yang dibahas bukanlah reformasi administratif melainkan langkah untuk memecah UNRWA sehingga menjadi lembaga tanpa substansi politik dan hukum. Ia menyebut rencana pemindahan kewenangan UNRWA kepada negara tuan rumah sebagai upaya mengakhiri status internasional persoalan pengungsi dan menjadikannya isu administratif lokal.
Ia juga menjelaskan bahwa Israel berusaha memanfaatkan Konvensi 1951 untuk mengalihkan pengungsi Palestina ke UNHCR, meskipun Pasal 1(D) konvensi tersebut mengecualikan mereka selama masih berada dalam mandat UNRWA.
Al-Azza menilai penerapan Konvensi 1951 atas pengungsi Palestina akan mengubah identitas hukum mereka dari pengungsi politik akibat penjajahan menjadi individu yang memerlukan tempat tinggal alternatif. Hal itu dinilainya menguntungkan proyek politik AS dan Israel yang bertujuan melemahkan hak kembali. Di tingkat politik lebih luas, ia memandang langkah ini sebagai bagian dari upaya mengeluarkan isu pengungsi dari agenda perundingan akhir konflik.
Abu Badawieh menambahkan bahwa pengalihan mandat UNRWA ke rezim Konvensi 1951 akan melemahkan tekanan internasional terhadap Israel untuk menyelesaikan akar masalah pengungsian.
Ia menyoroti bahwa Israel ingin menciptakan legitimasi internasional bagi kebijakan pemukiman kembali di negara ketiga sambil mengurangi tanggung jawab hukumnya. Penghapusan UNRWA, menurutnya, juga akan melemahkan instrumen diplomatik utama yang menjaga isu pengungsi tetap berada di agenda PBB.
Sejumlah laporan juga mengungkap munculnya lembaga bantuan lokal atau internasional baru yang berfokus pada layanan harian tanpa mandat politik. Salah satunya Gaza Humanitarian Foundation, yang beroperasi di Jalur Gaza dan mencatat ribuan korban jiwa selama perang.
Para pakar menilai lembaga semacam itu tidak dapat menggantikan peran politik dan hukum UNRWA. Juru bicara UNRWA, Adnan Abu Hasna, menegaskan bahwa penggantian UNRWA tidak mungkin dilakukan, mengingat lembaga ini mempekerjakan sekitar 12 ribu pegawai tetap dan memiliki infrastruktur luas yang tak tergantikan.
Jelang pemungutan suara Majelis Umum PBB pada Desember mendatang, tekanan politik terhadap UNRWA meningkat. Direktur Jenderal Komite 302, Ali Huwaidi, menyebut serangan politik dan finansial terhadap UNRWA sebagai strategi AS dan Israel untuk melumpuhkannya. Ia menyinggung tuduhan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio bahwa UNRWA berafiliasi dengan Hamas, yang menurutnya tidak didukung bukti. Laporan independen PBB dan Uni Eropa telah menepis tuduhan tersebut dan menegaskan peran vital UNRWA.
Dengan meningkatnya tekanan, sejumlah analis memperingatkan bahwa jutaan pengungsi Palestina berisiko kehilangan payung perlindungan internasional. Proses yang tengah berlangsung dianggap sebagai pergeseran politik besar yang berpotensi menghapus makna politik istilah pengungsi Palestina, mengubah hak kembali menjadi isu kemanusiaan semata.
Jika skenario ini berjalan, dunia bukan hanya akan kehilangan mandat UNRWA tetapi juga simbol hukum yang mengakui tragedi Nakba 1948 dan identitas kolektif para pengungsi. (nun/avi)