Di Balik Puing dan Tenda Pengungsi Gaza Ada Kisah Keluarga yang Tak Meninggalkan Harapan
07 Nov 2025
0 Suka
Dalam kajian krisis kemanusiaan kontemporer, Gaza menjadi salah satu contoh paling ekstrem tentang bagaimana masyarakat sipil bertahan dalam kondisi kehancuran fisik dan tekanan hidup yang berlangsung berkepanjangan. Setelah lebih dari dua tahun perang melanda wilayah tersebut, kehidupan sehari-hari warganya diwarnai keterbatasan ruang, kerentanan, dan upaya mempertahankan martabat di tengah kondisi yang terus memburuk.
Di lingkungan Al-Amal, Khan Younis, Mahmoud Abu Saud memperhatikan anak-anaknya bermain di antara reruntuhan rumahnya yang telah rata dengan tanah. Ia berdiri di depan sisa-sisa bangunan itu dan menjelaskan kondisi yang ia jalani sejak kehilangan rumah pada masa perang.
“Tenda itu mungkin tak cukup… dan dinginnya menyakitkan,” ujarnya. “Tetapi hal tersulit adalah melihat rumahmu hancur menjadi debu di depan matamu, dan mengingat setiap tawa, setiap sudutnya.”
Kepada koresponden Pusat Informasi Palestina, ia melanjutkan bahwa anak-anak menjadi sumber kekuatan untuk tetap bertahan. “Setiap hari saya berkata pada diri sendiri: kita harus sabar, kita harus tekun… karena hidup tak pernah berhenti,” katanya seperti dilansir Pusat Informasi Palestina.
Abu Saud kemudian menyentuh batu dari sisa tembok rumahnya. “Batu itu memang hancur… tetapi hatinya tidak. Ia yang membangun sekali dapat membangun untuk kedua dan ketiga kalinya. Kita tidak belajar dari kekalahan, kita belajar untuk bangkit kembali.”
Konteks pernyataannya mencerminkan kondisi yang lebih luas. Sejak 7 Oktober 2023 hingga gencatan senjata pada Oktober 2025, Gaza mengalami salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern. Pemerintah di Gaza melaporkan bahwa sekitar 92 persen rumah—setara 436 ribu unit—mengalami kerusakan atau hancur total. Lebih dari 2,1 juta penduduk menjadi pengungsi internal, terpaksa tinggal di tenda-tenda darurat yang didirikan di atas bekas permukiman mereka sendiri.
Di berbagai wilayah, tenda menjadi satu-satunya tempat berlindung yang tersisa. Bagi ratusan ribu warga, tenda tidak hanya berfungsi sebagai hunian sementara, tetapi juga menjadi simbol kedekatan masyarakat Gaza dengan tanah mereka.
Puluhan ribu rumah hancur, ratusan ribu keluarga mengungsi, dan sebagian besar warga kini tinggal di antara puing-puing sambil berusaha mempertahankan pola hidup normal di tengah keterbatasan ekstrem.
Situasi infrastruktur tidak lebih baik. Lebih dari 78 persen jaringan layanan publik, bangunan, dan fasilitas pendukung kehidupan mengalami kerusakan parah. Sektor pertanian, yang selama ini menjadi sumber penghidupan banyak keluarga, runtuh sepenuhnya.
Selain kehilangan tempat tinggal, warga juga berhadapan dengan minimnya akses listrik, air bersih, serta kondisi cuaca musim dingin yang memperberat keadaan. Di sisi lain, data menunjukkan sekitar 69 ribu orang gugur, termasuk lebih dari 20 ribu anak-anak, dan lebih dari 170 ribu mengalami luka-luka.
Di antara tenda-tenda yang berdiri di atas puing, Fatima Hamdan bersama tiga anaknya menempati ruang kecil yang dibangun di bekas rumah mereka. Ia menggambarkan rutinitas sehari-hari yang dipenuhi upaya menyelamatkan barang-barang yang tersisa.
“Setiap hari aku bangun dan menghitung sisa-sisa yang berhasil kuselamatkan… sebuah foto di sini, sebuah piring di sana… hanya ini yang tersisa dari hidup kami,” ujarnya. Kepada koresponden, ia menegaskan tetap berusaha memberikan rasa aman meski kondisi sulit. “Tendanya kecil, tetapi harapannya besar… dan kami tidak akan menyerah.”
Dua tahun setelah perang, hidup di atas reruntuhan adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari bagi warga Gaza. Meski demikian, keteguhan untuk terus bertahan tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. (nun/avi)