Pengamat Sebut Israel dan Washington Gunakan Gencatan Senjata sebagai Kedok Militer
03 Nov 2025
0 Suka
Di tengah wacana gencatan senjata yang kembali digaungkan antara Israel dan Amerika Serikat terkait situasi di Jalur Gaza, realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Serangan udara dan operasi militer tetap berlangsung, mengindikasikan pola baru yang menurut para pengamat merupakan bentuk “gencatan senjata bersyarat tembakan.”
Pembicaraan damai disertai dentuman bom, sementara komunitas internasional masih diam dan Washington terus membenarkan tindakan sekutunya di kawasan tersebut.
Penulis dan analis politik Alaa al-Rimawi menilai bahwa Israel dan Washington sedang mengadopsi bentuk gencatan senjata baru, yang memungkinkan keduanya mempertahankan kebebasan militer sembari menjaga citra politik yang tenang.
Dalam wawancara dengan Pusat Informasi Palestina, ia menjelaskan bahwa Israel menerapkan konsep yang disebutnya “fluid fire,” yakni operasi terbatas dan berkelanjutan terhadap target yang dianggap mengancam, tanpa dikategorikan sebagai pelanggaran resmi terhadap gencatan senjata.
Menurut Rimawi, strategi ini membuat Israel dapat menampilkan diri sebagai pihak yang berkomitmen pada perdamaian, sementara secara bersamaan tetap menjalankan kebijakan militer yang agresif di Gaza, Lebanon, dan Suriah.
Rimawi menambahkan bahwa Washington tampaknya menyetujui pendekatan ini, memberikan ruang politik bagi Israel untuk terus beroperasi tanpa tekanan berarti dari dunia internasional. Ia menyebut ada tiga pilar utama dalam strategi Israel di Gaza: pertama, pembunuhan sistematis terhadap tokoh perlawanan yang dianggap berpengaruh; kedua, tekanan sosial melalui pemboman dan penghancuran infrastruktur sipil; dan ketiga, upaya menggambar ulang peta kekuasaan dengan memperluas zona yang diklaim sebagai “wilayah aman.” Tujuan akhirnya adalah membentuk realitas geopolitik baru yang membagi Jalur Gaza dalam kendali perlawanan dan wilayah pendudukan.
Dalam kurun waktu kurang dari 12 jam sejak Selasa malam hingga Rabu pagi, tentara Israel melancarkan puluhan serangan udara yang menewaskan lebih dari 100 orang, termasuk 35 anak-anak. Pada pukul 10.00 pagi hari Rabu, tentara kembali mengumumkan dimulainya “gencatan senjata” sesuai instruksi politik. Namun, insiden di Rafah—yang diklaim sebagai serangan penembak jitu terhadap seorang tentara Israel—langsung dijadikan alasan untuk melanjutkan operasi militer, meskipun kelompok perlawanan membantah tuduhan tersebut. Praktik seperti ini, menurut para pengamat, menjadi pola umum pelanggaran gencatan senjata yang dilakukan Israel sejak awal.
Pakar militer Brigadir Jenderal Hassan Jouni menilai serangan tersebut merupakan cara Israel memaksakan “realitas baru” pasca perjanjian gencatan senjata, yakni dengan menargetkan individu atau kelompok yang dituduh melanggar kesepakatan. Ia memperingatkan bahwa normalisasi praktik semacam ini dapat menimbulkan bahaya serius di masa mendatang.
Sementara itu, peneliti politik Imad Abu Awad menyebut situasi di Gaza bukanlah gencatan senjata sejati, melainkan bentuk “manajemen laju tembakan.” Ia menilai Israel berusaha menjaga eskalasi di batas tertentu agar dapat tetap menembak kapan pun diinginkan, sambil mengklaim sedang membela diri. Washington, kata Abu Awad, menerima narasi ini dan memberi legitimasi bagi Israel untuk melanjutkan operasi tanpa khawatir terhadap akuntabilitas internasional.
Penulis politik Aziz al-Masri menambahkan bahwa pembenaran Israel atas serangan terbaru hanyalah “tontonan media.” Ia mengungkap bahwa insiden Rafah yang dijadikan alasan untuk melanjutkan perang sejatinya tidak pernah terjadi.
Menurut al-Masri, eskalasi baru ini adalah bagian dari strategi keamanan Israel yang telah dirancang sejak jeda gencatan senjata diumumkan, semata untuk mempertahankan dominasi dan kendali atas Jalur Gaza. (nun/avi)