Tragedi Sudan, Perempuan dan Anak Jadi Korban di Jalur Pengungsian
03 Nov 2025
0 Suka
Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kekerasan brutal di El Fasher, ibu kota Darfur Utara, Sudan.
Dalam laporan terbarunya, UNHCR menegaskan bahwa terdapat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan oleh kelompok bersenjata, baik saat penyerangan maupun ketika mereka berusaha mengungsi. Tindakan ini menunjukkan betapa warga sipil, khususnya kelompok rentan, menjadi korban paling menderita di tengah konflik bersenjata yang semakin tidak terkendali.
UNHCR menyebut ribuan warga sipil kini terpaksa meninggalkan El Fasher akibat kekerasan yang terus meningkat. Banyak di antara mereka terjebak di dalam kota tanpa akses terhadap makanan, air, maupun layanan kesehatan.
Laporan UNHCR juga mengungkap bahwa pasukan Rapid Support Forces (RSF) telah memasuki kota, menimbulkan ketakutan besar di antara warga yang selama lebih dari 500 hari hidup dalam kondisi pengepungan dan konflik berkepanjangan.
Dalam beberapa hari terakhir, sekitar 26.000 orang dilaporkan telah melarikan diri dari El Fasher. Namun, perjalanan menuju tempat aman penuh dengan ancaman. Para pengungsi harus melewati pos pemeriksaan bersenjata, menghadapi pemerasan, penahanan sewenang-wenang, penjarahan, pelecehan, hingga berbagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Kondisi tersebut menggambarkan situasi kemanusiaan yang semakin genting di kawasan tersebut.
Kesaksian para pengungsi yang tiba di Tawila—sekitar 50 kilometer dari El Fasher—menunjukkan bahwa krisis perlindungan dan kemanusiaan kini berada pada titik kritis. UNHCR melaporkan banyak anak-anak yang tiba dalam kondisi gizi buruk, sakit, dan trauma mendalam setelah perjalanan penuh risiko. Lembaga ini bersama mitra lokal berupaya memberikan bantuan darurat berupa tempat tinggal, kebutuhan pokok, bantuan tunai, serta layanan konseling di pusat-pusat komunitas terpadu.
Selain di Tawila, ribuan paket bantuan rumah tangga telah disiapkan di Nyala, Darfur Selatan, menunggu akses distribusi yang aman. UNHCR juga berencana mengirimkan paket profilaksis pascapaparan (PEP) dari Farchana, Chad, ke wilayah Tawila dan Dar Zagawa guna menanggulangi dampak kekerasan seksual dan kebutuhan medis mendesak lainnya.
Namun, akses komunikasi dan jalur distribusi bantuan tetap menjadi tantangan utama. Situasi keamanan yang tidak stabil membuat ribuan warga terjebak di El Fasher tanpa makanan dan air bersih.
UNHCR menegaskan pentingnya penghentian segera kekerasan, khususnya terhadap warga sipil yang berusaha mengungsi, serta mendesak agar akses kemanusiaan yang aman dan bebas hambatan diberikan secepatnya kepada petugas kemanusiaan.
UNHCR juga menyampaikan kekhawatiran terhadap kondisi kelompok rentan lainnya, termasuk penyandang disabilitas, yang menjadi korban di tengah situasi yang semakin kacau. Lembaga ini menegaskan kembali bahwa kepatuhan terhadap hukum humaniter internasional adalah kewajiban, bukan pilihan.
Selain Darfur, wilayah Kordofan Utara juga dilanda kekerasan serupa. Setelah jatuhnya kota Bara, ribuan warga kembali mengungsi di wilayah tersebut. UNHCR memperingatkan bahwa potensi pengepungan kota El Obeid dapat memperburuk kondisi kemanusiaan, mengingat kota itu kini menampung puluhan ribu pengungsi internal.
Bersama lembaga PBB lainnya, UNHCR terus berupaya memberikan dukungan penyelamatan nyawa di tengah keterbatasan dana dan situasi yang tidak menentu.
Saat ini, permohonan pendanaan untuk krisis kemanusiaan Sudan tahun 2025 baru terpenuhi 27 persen, sementara kebutuhan terus meningkat. Kondisi ini membuat upaya bantuan internasional semakin mendesak, di tengah tragedi kemanusiaan yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. (nun/avi)