Laporan PBB: Kota El-Fasher Porak-Poranda, Warga Terjebak di Tengah Konflik
03 Nov 2025
0 Suka
Kekerasan yang terus berkecamuk di Sudan kembali menyeret dunia pada kenyataan pahit konflik kemanusiaan. Kota El-Fasher di Darfur menjadi saksi penderitaan ribuan warga sipil yang terusir dari rumahnya akibat serangan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF).
Dalam laporan terbaru, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan lebih dari 65.000 orang telah melarikan diri dari kota tersebut, termasuk sekitar 5.000 orang menuju kota terdekat, Tawila. Namun, puluhan ribu lainnya masih terjebak di tengah reruntuhan kota yang porak-poranda akibat pertempuran berkepanjangan.
Tragedi ini menyoroti kembali krisis kemanusiaan yang melanda Darfur sejak RSF merebut El-Fasher satu pekan lalu. Kejatuhan kota strategis itu menandai berakhirnya pengepungan selama 18 bulan yang disertai kelaparan dan pengeboman terhadap warga sipil. Sejak pengambilalihan tersebut, laporan mengenai eksekusi massal, kekerasan seksual, penjarahan, hingga penculikan terus bermunculan. Komunikasi yang nyaris terputus membuat banyak peristiwa sulit diverifikasi secara independen.
Hussein, seorang pemuda yang berhasil melarikan diri dari Garni, sekitar 25 kilometer dari El-Fasher, menjadi salah satu saksi hidup atas kekejaman itu. “Kami dikumpulkan dan dibawa pergi,” ujarnya kepada AFP, Minggu (3/11/2025).
Ia menceritakan bahwa dirinya bersama sekitar 200 pria muda ditahan selama beberapa hari oleh anggota RSF. “Mereka memukuli kami dengan tongkat dan menyebut kami budak,” tuturnya.
Para tahanan hanya diberi makan sekali sehari dan dikurung di dalam gedung sekolah. Setelah empat hari, sebagian dibebaskan, sementara lainnya terus digantikan oleh tahanan baru.
Nasib serupa dialami Abbas al-Sadek, dosen Universitas El-Fasher, yang sempat ditahan dan dipaksa membayar tebusan sebesar 900 dolar AS agar dibebaskan. “Uang ini menyelamatkan nyawaku. Mereka memberi waktu hanya 10 menit,” ujarnya dalam video singkat yang dikirim kepada koleganya. Abbas kini telah mencapai Tawila, namun banyak warga lain belum diketahui keberadaannya.
Doctors Without Borders (MSF) melaporkan banyak warga masih hilang meski sebelumnya berhasil bertahan dari kelaparan dan kekerasan selama berbulan-bulan. Kepala penanganan darurat MSF, Michel Olivier Lacharite, mengatakan jumlah pengungsi baru tidak sebanding dengan total penduduk sebelumnya, sementara laporan kekejaman terus meningkat.
Citra satelit yang dianalisis oleh Humanitarian Research Lab Universitas Yale menunjukkan adanya aktivitas mencurigakan di daerah Garni yang dikuasai RSF, termasuk objek berukuran kecil di fasilitas yang diduga bekas sekolah.
Kisah pilu datang dari Zahra, seorang ibu yang kini berlindung di Tawila. Dua anak lelakinya berusia 16 dan 20 tahun ditangkap RSF. “Mereka melepaskan yang kecil, tapi saya tidak tahu apakah Mohammed, anak sulung saya, masih hidup,” katanya.
Sementara seorang ayah bernama Adam mengaku menyaksikan dua putranya dibunuh di depan matanya setelah dituduh sebagai tentara. “Mereka menuduh saya tentara karena ada darah anak-anak saya di baju,” ujarnya. Adam selamat setelah diinterogasi berjam-jam, tetapi banyak tahanan lain tidak seberuntung itu.
Koordinator MSF di Tawila, Sylvain Penicaud, menyebut banyak pengungsi masih trauma dan mencari keluarga yang hilang. Beberapa korban mengatakan mereka diserang karena warna kulit mereka. “Yang paling menakutkan adalah mendengar bagaimana orang-orang diburu saat berlari menyelamatkan diri, diserang hanya karena berkulit hitam,” ujarnya.
RSF, yang berasal dari milisi Janjaweed — kelompok yang dituduh melakukan genosida di Darfur dua dekade lalu — kembali menuai kecaman dunia internasional. Amerika Serikat sebelumnya telah menyatakan bahwa RSF melakukan tindakan genosida di Darfur. Konflik yang tak kunjung usai ini kini menambah panjang daftar luka kemanusiaan di Sudan. (nun/avi)