Tragedi El-Fasher Sudan, 260.000 Warga Separuhnya Anak-Anak Terperangkap Perang
30 Oct 2025
0 Suka
Krisis kemanusiaan di Sudan kian memburuk seiring meningkatnya kekerasan bermotif etnis di kota El-Fasher, Sudan barat. Situasi di kota itu menarik perhatian dunia internasional karena dampak besar terhadap warga sipil yang terjebak di tengah konflik bersenjata antara militer Sudan dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF).
Sejumlah laporan lembaga internasional dan media asing menggambarkan kondisi tersebut sebagai salah satu tragedi kemanusiaan paling mengerikan di Afrika saat ini.
Menurut laporan kantor berita AFP dan Al Arabiya, sekitar 260.000 warga sipil kini terperangkap di El-Fasher, dan separuh dari mereka adalah anak-anak.
Kota tersebut telah dikepung selama berbulan-bulan oleh RSF sebelum akhirnya jatuh ke tangan kelompok itu setelah lebih dari 18 bulan pengepungan brutal.
Selama masa kepungan, kota ini terputus dari akses komunikasi, bantuan kemanusiaan, dan pasokan makanan dari luar.
Sekutu militer Sudan, Joint Forces, menyampaikan pada Selasa (28/10) waktu setempat bahwa RSF “melakukan kejahatan keji terhadap warga sipil tak berdosa di kota El-Fasher, di mana lebih dari 2.000 warga tak bersenjata dieksekusi dan dibunuh pada tanggal 26 dan 27 Oktober, kebanyakan dari mereka adalah perempuan, anak-anak, dan lansia.” Pernyataan ini memperkuat laporan awal yang menyebut adanya kekejaman massal setelah kota itu direbut oleh pasukan RSF.
Sebelumnya, kelompok-kelompok lokal dan lembaga swadaya masyarakat internasional telah memperingatkan bahwa jatuhnya El-Fasher dapat memicu pembantaian etnis.
Kekhawatiran itu kini terbukti, sebagaimana dilaporkan oleh Laboratorium Riset Kemanusiaan Universitas Yale. Melalui analisis intelijen sumber terbuka dan citra satelit, lembaga tersebut menyimpulkan bahwa kota El-Fasher “tampaknya sedang dalam proses pembersihan etnis yang sistematis dan disengaja terhadap komunitas Fur, Zaghawa, dan non-Arab pribumi Berti melalui pemindahan paksa dan eksekusi mati.”
Laporan itu juga mengungkap adanya “operasi pembersihan dari pintu ke pintu” yang menargetkan warga sipil di wilayah tersebut. Dalam laporan yang diterbitkan pada Senin lalu, lembaga itu menilai tindakan RSF “mungkin konsisten dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dan dapat meningkat ke tingkat genosida.”
Kepala hak asasi manusia PBB, Volker Turk, turut memperingatkan tentang meningkatnya risiko “pelanggaran dan kekejaman bermotif etnis” di El-Fasher. Kantor PBB melaporkan telah menerima banyak kesaksian yang menunjukkan adanya eksekusi mati dan bentuk kekejaman lainnya terhadap warga sipil.
Aktivis pro-demokrasi di Sudan menyebut bahwa penduduk El-Fasher tengah menghadapi “bentuk-bentuk kekerasan dan pembersihan etnis terburuk” sejak RSF merebut kendali kota itu. RSF sendiri memiliki catatan panjang dalam pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan hingga 15.000 warga sipil non-Arab di El-Geneina, ibu kota Darfur Barat.
Sementara militer Sudan, yang berperang melawan RSF sejak April 2023, juga menghadapi tuduhan kejahatan perang. Lebih dari satu setengah tahun perang telah menjadikan El-Fasher sebagai salah satu simbol kelam dari konflik yang oleh PBB dikategorikan sebagai salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Kota yang terletak sekitar 200 kilometer dari perbatasan Chad itu kini nyaris tanpa pasokan makanan. Menurut saksi mata, sebagian warga yang masih bertahan hidup terpaksa memakan pakan ternak demi bertahan di tengah blokade berkepanjangan. (nun/avi)